PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL ANAK
A.
Pengertian
Perkembangan
Menurut Hurlock (1980) mengemukakan bahwa
perkembangan berarti buka sekedar penembahan ukuran tinggi dan berat badan
seseorang atau kemampuan seseorang, melainkan suatu proses integrasi dari
banyak struktur dan fungsi yang kompleks. Sedangkan menurut Baltes (1987)
perkembangan meliputi gains (growth)
dan losses (decline), jadi sepanjang
hidup individu selain ada pertumbuhan juga ada penurunan.
Berdasarkan paparan diatas maka dapat disimpulkan
bahwa perkembangan merupakan pertumbuhan segala sesuatu yang ada didalam diri
kita baik afektif, kognitif maupun psikomotorik yang dipengaruhi lingkungan,
pengalaman dan kematangan yang juga disertai dengan kemunduran/penuaan. Adapun
tahapan perkembangan anak menurut hurlock (1980) yaitu:
f. Masa
bayi baru lahir (dari kelahiran sampai akhir minggu ke dua).
g. Masa
bayi (mulai akhir minggu kedua – 2 tahun).
h. Awal
masa kanak-kanak (usia 2-6 tahun).
i.
Akhir masa anak-anak (6-12 tahun).
Perkembangan mencangkup proses-proses biologis (biological process), kognitif (cognitive process), dan sosioemosional (sosioemotional process).
B. Perkembangan Sosio Emosional pada
anak (0-2)
Menurut
nenide (2008) perkembangan sosio emosional yang sehat menyangkutadanya sense of
confidence and compentence, kemampuan membina hubungan baik dengan teman sebaya
dan orang-orang dewasa kemampuan untuk tetap pada tugas, memiliki arah/tujuan,
kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami dan mengomunikasi perasaan emosinya,
kemampuan mengelola emosi yang kuat secarakonstruktif.
Emosi
yang kehadirannya jauh lebih awal dari kemampuan berbahasa dan kognitif anak,
merupakan alat untuk berkomunikasi pada masa bayi. Menurut bretherton dkk.
Tahun 1986 (santrock, 1995), fungsi utama emosi ialah penyesuaian diri dan
kelangsungan hidup (adaptasi and survival), pengaturan (regulation), dan
komunikasi.
1.
Emosi
bayi
Hasil
penelitian Izard pada 1982 (santrock,1995) menunjukan hasil bahwa bermacam
macam emosi muncul di berbagai kesempatan pada dua tahun pertama kehidupan
anak. Seperti, ekspresi marah dan rasa takut yang sudah dapat muncul saat anak
berusia 3-4 bulan, rasa takut dan rasa malu yang dapat muncul pada saat 5-7
bulan. Pada akhir kedua emosi yang paling majemuk sifatnya seperti perasaan
bersalah dan perasaan jijik baru muncul.
Bayi juga dapat mengekspresikan
perasaanya secara vokal seperti, tangisan yang menandakan bahwa ia lapar,
sakit, manja dan lain-lain.
2.
Jenis
tangisan
Menurut
santrcok (2007), menangis adalah mekanisme penting yang dimiliki bayi yang baru
lahir untuk berkomunikasi dengan dunia luar. Ada tiga jenis tangisan yaitu:
-
Tangisan
biasa, tangisan yang singkat, kondisi yang biasa
menyebabkan tangisan ini adalah kondisi pada saat lapar.
-
Tangisan
marah, beberapa variasi dengan lebih banyak udara yang
dipaksa melalui pita suara.
-
Tangisan
kesakitan, tangisan yang tiba-tiba dan keras, tangisan ini biasa
disebabkan oleh oleh stimulus dengan intensitas yang tinggi.
Menanggapi tangisan bayi, peran orang
tua salam merespon tangisan bayi memang sangat diperlukan. Karena, orang tua
yang secara langsung merespon dan menenangkan setiap tangisan bayi, akan membantu
bayi mengembangkan rasapercaya dan kelekatan yang aman.
3.
Senyuman
bayi
Selain tangisan, senyuman merupakan
perilaku afektif komunikatif nayi yang juga penting. Ada dua tipe senyuman
bayi, yaitu:
-
Senyuman
reflektif, merupakan senyuman yang terjadi bukan karena respon
terhadap stimulus eksternal atau rangsangan dari luar. Senyuan ini biasa
disebut senyuman melihat malaikat.
-
Senyuman
sosial, terjadi sebagai respons terhadap stimulus eksternal
atau rangsangan dari luar, khsusnya sebagai respons terhadap suatu wajah yang
ia lihat.
Pola
ekspresi perasaan bayi yang terkait dengan suatu kejadian tertentu relatif
stabil dari waktu ke waktu. Karena reaksi bayi terhadap suatu kejadian yang dia
alami pada saat berumur 2 bulan akan cenderung sama reaksinya padaa saat ia
berusia 13-19 bulan. Sedangka pada usia 18-24 bulan, anak sudah menjadi makhluk
yang beremosi. Anak sudah dapat menyampaikan (dengan kata-kata dan ekspresi
wajah) tentang berbagai perasaan yang pernah dialaminya atau pernah dialami
oleh temannya yang terungkap saat permainan bersama.
4.
Temprament
Tempranment
merupakan suatu gaya prilaku individual dan cara merespons yang khas. Jika
dilihat pada bayi perangai tempramen nya dapat dicirikan seperti tampak ada
bayi yang sangat aktif, tenang, mudah menangis, atau merespons dengan hangat
pada orang lain. Kebanyakan bayi sudah menampakan karakteristik prilaku
tertentu sejak dini, yang menunjukan bahwa ada suatu komponen bilogis dalam
kepribadian anak. Temprament bayi dapat dibedakan dalam tiga tipe pola temprament,
yaitu:
-
Anak
yang bertemprament mudah. Anak bertemprament seperti ini
biasanya neniliki suasana hati yang positif, cepat membangun rutinitasnya yang
teratur, mudah menyesuaikan diri dengan pengalaman-pengalaman baru, dan mudah
tersenyum pada orang asing.
-
Anak
yang bertemprament sulit. Tipe ini umumnya cenderung bereaksi
secara negatif/marah-marah.
-
Anak
yang bertemrament lambat. Anak-anak tipe ini umumnya memiliki
tingkat aktivitas yang rendah, daya adaptasi rendah, tanggapanya lambat
terhadap pengalaman baru, dan perubahan reaksinya tidak terlalu kuat baik untuk
suasana hati yang positif maupun negatif.
5.
Arah
sosial pada bulan-bulan pertama
Menurut
schaffer (monks dkk.,2001), pada tiga bulan pertama bayi mulai memiliki daya
tarik pada orang/manusia pada umumnya (disebabkan oleh ciri-ciri yang khusus
pada manusia), kemudian karena ada perubahan struktur kognitif anak (akibat
pengalaman) maka anak tertarik pada orang-orag tertentu saja. Disamping sifat
tertarik pada manusia anak juga sudah dapat membuat berbagai tanda untuk
memenuhi kebutuhannya.
6.
Attachment
(kelekatan atau tingkah laku lekat)
Timgkah
laku lekat yaitu ikatan emosional yang kuat dan repirokal antara anak dan
pengasuhnya, yang sama-sama memberikan konstribusi terhadap kualitas hubungan
tersebut. Kemampuan dalam tingkahlaku ini terjadi pada saat bayi berumur 5-15
bulan. Namun, munculnya tingkah laku
lekat ini juga dapat terhambat atau lebih lambat apabila terjadi depresi sosial
yang ekstreem. Menurut ainsworth, tingkahlaku lekat biasanya ditujukan kepada
figur-figur tertentu dan tidak pada setiap orang.
a. Perbedaan kelekatan dan ketergantungan,
pada
ketergantungan pemenuhan keinginan merupakan hal pokok dan ketergantungan
ditunjukan pada sembarang orang. Pada kelekatan, pemenuhan keinginan hal yang
pokok dan kelekatan selalu tertuju pada figur atau orang tertentu saja.
b.
Tingkah
laku lekat dan lingkunganya,
menurut schaffer 1971 mengatakan lingkungan lumah yang penuh perhatian
mempercepat timbulnya tingkah laku lekat, sedangkan deprivasi sosial yang
ekstreem dapat memperlambat terbentuknya tingkah laku lekat.
c.
Siapa
yang akan menjadi figur lekat?., orang yang sering dijadikan figur lekat ialah
orang yang sering mengadakan reaksi terhadap tingkah laku anak, untuk menarik
perhatian dan sering membuat interaksi secara spontan dengan anak. Untuk
penjadi figur lekat tidak cukup jika hanya mengasuh anak saja tetapi bagaimana
kita mampu memberi perhatian penuh dan dapat memenuhi persyaratan yang
dibutuhkan bagi perkembangan kognisi dan emosional anak.
d.
Jumlah
figur lekat, menurut monks dkk 2001, ada dua teori
yang berkaitan tentang hal ini yaitu teori differensial (1-6 tahun figur lekat
pada ibu) dan teori paralel (0-1 tahun figurl lekat pada ibu).
e.
Hubungan
anak dengan figur lekat, pada umumnya pada tahun-tahun awal
ini apabila anak dekat dengan figur, timbul keberanian untuk bereksplorasi dan anak
mengalami ketakutan bila berpisah dengan figur lekat. Ada dua macam ketakutan
menjelang akhir tahun pertama yaitu:
-
Takut
terhadap orang asing, perilaku ini muncul pada usia
sekitar 6-8 bulan. Namun, satu penelitian menyabutkan bahwa anak yang mempunyai
banyak interaksi dengan ayah cenderung kurang takut terhadap orang asing dari
pada anak yang hanya mempunyai interaksi dengan ibu saja.
-
Takut
untuk berpisah, prilaku ini terjadi pada usia 9-12
bulan. Ketakutan ini muncul saat ditinggal figur lekatnya/pengasuhnya dan juga
muncul hambatan tingkah laku eksplorasi.
f.
Efek
berpisah dengan figur lekat, tingkah laku yang
muncul pada waktu ini adalah fase protes (menangis, agresi, mogok makan), fase
putus asa (acuh tak acuh), tingkah laku tak peduli terhadap kontak dengan orang
lain.
g.
Dua
tipe attachment, tipe attachment yang tampak pada anak
berusia 7-12 bulan, yaitu:
-
Anxious
attachment
anak
ingin selalu dekat dengan ibunya, rewel, dan rasa ingin tahunya lebih rendah.
-
Secure
attachment anak cenderung berani/ tidak takut dan
senang melakukan eksplorasi.
h.
Lack
of emotional interchange with a love object, merupakan kkekurangan kasih sayang yang sangat
dibutuhkan untuk berkembang dengan sehat dan normal misalnya karena
institusionalisasi (memasukan anak dalam suatu yayasan penitipan) yang
mengakibatkan tingkah laku menyimpang seperti :
-
Tingkah
laku stereotip,
-
Sering menunjukan sikap apatis
-
Tingkah laku sosial yang abnormal
-
Kemunduran bidang motorik, kognisi, dan
bahasa.
7. Empat Tahap Perkembangan Tingkah
Laku Lekat
-
Tahap
1: orientasi dan tanda-tanda diberikan oleh bayi tanpa diskriminasi (0-3 bulan)
Pada tahap ini anak telah memiliki
kemampuan untuk mengorientasikan dirinya terhadap gejala-gejala lingkungan yang
menonjol terutama terhadap orang/manusia. Bentuk orientasi tingkah laku pada
tahap ini, misalnya visual fixation, visual tracking, mendengarkan, rooting,
ata penyesuaian letak tubuh pada saat anak digendong.
-
Tahap
2: orientasi dan tanda-tanda ditujukan pada satu orang atau lebih yang bersifat khusustelah
diberikan (3-6 bulan).
Pada tahap ini anak telah mampu untuk
berorientasi pada figur-figur yang telah dikenalnya, anak mulai mengenal wajah
wajah tertentu yang ditunjukan melalui tingkah laku seperti senyuman dan
ocehan.
-
Tahap
3: mempertahankan kedektan terhadap figur lekat tertentu (6 bulan – 3 tahun)
Kelekatan anak terhadap figur khusus
yang telah timbul pada tahap-tahap sebelumnya, pada tahap ini tampak lebih
kuat. Tingkah laku anak dalam menghadapi ibu sebagai figur lekat mulai
terorganisir dan bertujuan. Tujuan tingkah laku adalah untuk mencari dan
mempertahankan kedekatan dengan figur lekat.
-
Tahap
4: membentuk goal corrected parnership (3 tahun-akhir masa anak-anak)
Apada tahap ini anak sudah bisa diajak
kerjasama. Bila semua tidak mau ditinggalkan figur lekatnya walaupun sebentar,
kini ia mengizinkan figurlekatnya pergi karena mengetahui kepergiannya itu
hanya sementara.
8.
Hal-hal
yang mempengaruhi Perkembangan Kelekatan.
Menurut
Bowlby (1981), ada beberapa hal yang mempengaruhi kelekatan pada anak yaitu:
a.
Kondisi
anak, kondisi penglihatan dan pendengaran anak mempunyai
peranan yang cukup penting dalam perkembangan kelekatan dimana kemamouan yang
mendukung yaitu kemampuan persepsi.
b.
Kondisi
lingkungan, bayi harus dapat kesempatan untuk
berinteraksi dengan figur yang psesific dan berkesinambungan secara tetap,
serta mampu memenuhi jebutuhan anak dengan cepat dan tepat.
C. Perkembangan Sosial-Emosionak
Kanak-Kanak Awal (2-6 tahun)
Perkembangan
sosial dan emosional anak berkaitan dengan kapasitas anak untuk mengembangkan
self confidence, trsut dan emphaty.
Perkembangan sosial-emosiaonal yang positif atau baik merupakan prediktor untuk
kesuksesan dalam bidang akademik, kognitif, sosial, dan emosional dalam
kehidupan anaknya.
Menurut
Santrock 2007, perkembangan emosi dan sosial tidak terlepas peran dari
faktor-faktor keluarga, relasi anak dengan teman sebayanya, dan kualitas
bermain yang dilkukan bersama teman sebayanya. Menururt Boyd dkk 2005,
perkembangan emosi dan sosial anak mencangkup pencapaian serangkaian
keterampilan dalam:
1. Mengidentifikasi
dan memahami perasaanya sendiri.
2. Membaca
dengan tepat dan memahami kondisi emosi orang/teman lain.
3. Mengelola
emosi dan mengekspresikan dalam bentuk yang kontstruktif.
4. Mengatur
prilakunya sendiri.
5. Mengmbangkan
empati pada orang/teman lain.
6. Menjalin
dan memelihara hubungan.
Peran Orangtua, Guru, dan teman
sebayanya.
Menurut
Boyd dkk. 2005, orangtua dan keluarga, guru, dan teman sebaya sangat berperan
dalam pencapaian perkembangan sosio-emosional yang baik pada masa kanak-kanak.
Relasi awal orangtua merupakan pondasi dicapainya kompetensi sosial dan
hubungan dengan teman sebayanya. Guru, sama halnya dengan orangtua, harus
menunjukan relasi yang hangat dan responsif, keterikatan yang konsisiten,
terlebih anak mulai menghabiskan banyak waktunya dengan guru pada saat sekolah
PAUD. Teman sebaya juga sangat berperan penting melalui hubungan pertemanan
yang baik dan bermain bersama, dan penerimaan sebagai teman karena anak akan
belajar bagaimana berkerja dalam kelompok dan berkerja sama dengan teman lain.
1.
Peran
Keluarga
a.
Pola
asuh Orangtua
Dari penelitian Diana
Baumrind 1971, ada beberapa pola asuh yang ditunjukan oleh para orangtua yang
dapat mempengaruhi perkembangan anak-anaknya, yaitu:
1)
Pola Asuh Otoriter
Merupakan
gaya pengasuhan yang ditandai oleh pembatasan, menghukum, memaksa anak
mengikuti aturan, dan kontrol yang ketat. Efek pengasuhan ini antara lain anak
mengalami inkompetensi sosial, sering merasa tidak bahagia, kemampuan
komunikasi lemah, tidak memiliki inisiatif melakukan sesuatu, dan kemungkinan
berprilaku agresuf.
2)
Pola Asuh Otoritatif atau demokrsatis
Gaya
pengasuhan ini mendorong anak untuk mandiri tetapi masih menetapkan batas-batas
dan pengendalian atas tindakan anak. Efek dari pengasuhan ini anak mempunyai kompetensi sosial, percaya
diri dan bertanggung jawab secara sosial. Juga tampak ceria, bisa mengendalikan
diri dan mandiri, berorientasi pada prestasi, mempertahankan hubungan ramah
dengan teman sebaya, mampu berkerja sama dengan orang dewasa, dan mampu
mengatasi stres dengan baik.
3)
Pola Asuh yang Membiarkan
Merupakan
gaya pengasuhan yang mana orangtua sangat terlibat dalam kehidupan anak tetapi
menetapkan sedikit batas, tidak terlalu menuntut, dan tidak mengontrol mereka.
Efek dari pengasuhan ini adalah anak kurang memiliki rasa hormat kepada orang
lain dan mengalami kesulitan mengendalikan prilakunya. Kemungkinan mereka juga
mendominasi, egosentris, tidak menuruti aturan, dan mengalami kesulitan dalam
hubungan teman sebaya.
4)
Pola Asuh yang Mengabaikan
Merupakan
gaya pengasuhan yang mana orangtua sangat tidak terlibat dalam kehidupan
anak.efek pengasuhan ini antaralain inkompetensi sosial, kendali diri yang
buruk, tidak mandiri, harga diri rendah, tidak dewasa, rasa terasing dari
keluarga, serta saat remaja suka membolos dan nakal.
b.
Perlakukan
Orangtua Kepada Anak.
Cara orangtua
memperlakukan anak sebaiknya menyesuaikan dengan usia dan taraf perkembangan
anak. Misalnya, perlakuan terhadap anak usia dua tahun seharusnya tidak sama
dengan anak berusia 5 tahun. Secara umum perlakuan orangtua pada masa anak-anak
awal sebagai berikut:
1. Tahun
pertama, interaksi orangtua-anak difokuskan mulai dari pengasuhan rutin,
seperti memberi makan, mengganti popok, memandikan dan menidurkan, serta
kegiatan yang berfsifat bukan pengasuhan seperti bermain, serta penukaran
tatapan dan suara.
2. Tahun
kedua dan ketiga, persoalan disiplin, menjauhkan anak dari kegiatan-kegiatan
yang membahayakan dan kadang-kadang hukuman fisik, seperti memukul bagian
pantat.
3. Sesudah
ini orangtua memberi penalaran, nasihat-nasihat moral dan memberi atau tidak
memberi hak-hak khusus. Masa anak masuk sekolah dasar, ornagtua biasanya
memberi sedikit sentuhan fisik.
c.
Ibu
Berkerja
Beberapa penelitian
menunjukan bahwa bagi anak bayi sampai usia dua tahun, efeknya kurang baik bila
bayi ditinggal berkerja, karena kelekatan dengan ibu menjadi berkurang atau
hilang. Namun jika anak sudah memasuki masa SD atau remaja hal seperti ini bisa
menjadi anak menjadi mandiri dan
bertanggung jawab.
d.
Keluarga
yang Bercerai
Perpisahan orang tua
dapat membawa dampak pada kondisi anak. Pada umumnya anak-anak mengalami
konflik, dan pada anak perempuan nilai-nilai disekolah lebih menurun dibanding
pada anak laki-laki dan anak laki-laki lebih mengalami masalah dalam penyesuaian
diri.
2.
Relasi
dengan Teman Sebaya
Salah satu fungsi teman
sebaya adalah sebagai sumber informasi dan bahan pembanding diluar lingkungan
keluarga. Hubungan yang baik baik dengan teman sebaya sangat penting bagi
perkembangan sosial yang baik. Isolasi sosial atau ketidak mampuan anak
melibatkan diri kedalam suatu jaringan sosial, dapat mengakibatkan munculnya
masalah kelainan yang beragam mulain dari kenakalan dan masalah minum-minuman
keras dan depresi.
3.
Kualitas
Bermain Teman Sebaya
Bermain ialah suatu kegiatan yang
menyenangkan yang dilaksanakan untuk kepentingan kegiatan itu sendiri. Sebagian
besar interaksi teman sebaya melibatkan permainan.
a. Karakteristik
bermain
Dari berbagai pendapat tentang
pengertian bermain dapat disimpulkan bahwa karakteristik kegiatan bermain,
yaitu:
1) Bermain
dilakukan sukarela tanpa paksaan
2) Bermain
selalu menyenangkan
3) Bermain
dilakukan secara spontan, bebas, tidak harus sesuai kenyataan, bebas membuat
aturan sendiri dan bebas berfantasi.
4) Makna
dan kesenangan bermain sepenuhnya ditentukan si pelaku.
b.
Ciri-ciri
Permainan
Berdasarkan analisis fenomologis, maka
Buytendijk (monks dkk, 2001) menemukan ciri-ciri permainan sebagai berikut:
1) Permainan
adalah selalu bermain dengan sesuatu.
2) Dalam
permainan selalu ada sifat timbal balik atau sifat interaksi.
3) Permainan
berkembang tidak statsis melainkan dinamis.
4) Permainan
juga ditandai oleh pergantian yang tidak dapat diramalkan lebih dahulu
5) Orang
bermain tidak hanya bermain dengan sesuatu atau dengan oranglain, melainkan
yang lain tadi juga bermain dengan orang yang bermain itu.
6) Bermain
menuntut ruangan untuk bermain dan menuntut aturan permainan.
7) Aturan
permainan membatasi bidang permainannya.
c.
Fungsi
Bermain
Menurut Ginzburg (2007), bermain
merupakan kegiatan penting bagi anak karena mendukung perkembangan fisik,
kognitif, sosialemotional well being anak, kratifitas, dan perkembangan otak
anak. Bermain juga berfungsi meningkatkan keterlibatan orang tua secara penuh
pada kegiatan anaknya dan secara tidak langsung melatih anak belajar bagaimana
berkerja dalam kelompok, berbagi, bernegoisasi, mengatasi konflik dan dan
belajar self-advocacy skill.
Sedangkan menurut piaget bermain
berfungsi untuk meningkatkan kemampuan kognitif anak. Piaget juga yakin bahwa
struktur kognitif perlu memeroleh latihan, dan bermain adalah lahan yang subur
untuk berlatih. Oleh karena itu orangtua dan guru harus menolong anak melakukan
permainan dengan berbagai variasi , karena dapat membantu meningkatkan
kreativitas anak.
Berikut in beberapa contoh aktivitas
bermain pada anak dan efeknya (Brotherson, 2009)
When
Children..
|
They Learn..
|
Smile and coo
at people
|
How to engage
other in interaction
|
Shake a rattle
Throw toys on
the floor
|
Their action
produce result to distinguish sounds
|
Look at the
picture book
|
|
Roll a ball
|
Principle of
gravity vause and effect
|
Cuddke a
stuffed animal
|
Pictrue
represent real objects, world label objects
|
Build with
block
|
Concepts of
size,weight,symmetry, number, and balances, muscle control and coordination.
|
Dress up and
play house
|
Small muscle,
self-help skill, to recreate their own world
|
Pretend to be
firefrighters
|
Social rules,
to work with others, share materials, and communicate with other children
|
d.
Kategori
Bermain
Menurut Hurlock (1980), bermain secara
garis besar dapat dibagi kedalam dua kategorui yaitu;
1) Bermain
aktif, dalam bermain aktif kesenangan
timbul dari apa yang dilakukan individual misalnya bermain boneka, bermain
mobil-mobilan, dan main masak-masakan. Bermain aktif lebih banyak dilakukan
oleh individu pada masa anak-anak awal dan tengah.
2) Bermain
pasif (hiburan), dalam bermain pasif
atau hiburan, kesenangan diperoleh dari kegiatan yang dilakukan oleh
orang lain dan tenaga yang dikeluarkan lebih sedikit. Misalnya menonton film
dan mebaca buku.jenis permainan pasif biasanya digemari oleh anak-anak yang
lebih besar.
e.
Bentuk-bentuk
Permainan
Ada enam interaksi antar anak yang
terjadi saat mereka bermain serta terlihat adanya peningkatan kadar interaksi
sosial mulai dari kegiatan bermain sendiri samapai bermain bersama.
1) Unoccupied play.
Anak tidak benar-benar terlibat dalam kegiatan bermain, tetapi hanya mengamati
kejaian disektitarnya yang menarik perhatiannya.
2) Solitary play.
Anak sibut bermain sendiri dan tampaknya tidak memerhatikan kehadiran anak-anak
lain disekitarnya. Prilakunya bersifat egosentris yang ditunjukan anatara lain,
emncerminkan pusat kegiatan dan perhatiannya
pada dirisendiri.
3) Onlooker play.
Pada umumnya tampak pada anak berusia 2 tahun. Yaitu kegiatan bermain dengan
mengamati anak-anak lainmelakukan kegiatan bermain dengan mengamati anak-anak
lain melakukan kegiatan bermain dan tampak ada minat yang semakin besar
terhadap kegiatan anak lain yang diamatinya.
4) Paralel play.
Tampak saat dua anak atau lebih bermain dengan jenis alat permainan yang sama
dan melakukan gerakan-gerakan atau
kegiatan yang sama, tetapi bila diperhatikan tampak bahwa sebenarnya tidak ada
interaksi diantara mereka.
5) Assosiatif play.
kegiatan bermain ini ditandai dengan adanya interaksi antar anak yang
bermain,saling tukar alat permainan. Akan tetapi bila diamati masing-masing
anak tidak terlibat dalam kerjasama. Kegiatan bermain asosiatif ini biasa
terlihat pada anak usia prasekolah, anak-anak di TK.
6) Cooperative Play.
Ditandai dengan adanya kerja sama atau pembagian tugas dan pembagian peran
antara anak-anak yang terlibat dalam
permainan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Kegiatan ini sudah tampak pada
anak usia sekitar lima tahun.
Menurut Berger pada tahun 1983, kegiatan
bermain dapat dibedakan atas:
a. Sensory Motor play.
Merupakan kegiatan bermain yang mengandalkan indra dan gerakan tubuh dan sudah
tampak pada sejak anak berusia 3 bulan.
b. Mastery Play.
Merupakan kegiatan bermain untuk menguasai keterampilan tertentu dan merupakan latihan
bagi anak untuk menguasai keterampilan-keterampilan yang baru baginya melalui
pengulangan-pengulangan yang dilakukan anak misalnya berguling-guling melompat.
c. Rough and Rumble play.
Merupakan kegiatan bermain kasar seperti bergelut, bergulingan serta saling
dorong , pura-pura menjegal, atau saling pukul , namun dilakukan antara
teman-teman yang sudah cukup dikenal dengan baik sehingga juga menunjang
perkembangan sosial anak.
d. Sosial Play.
Merupakan tonggak penting dalam tahapan perkembangan sosial anak, mulai tampak
pada usia pra sekolah. Kegiatan bermain ini ditandai dengan adanya interaksi
dengan orang lain di sekeliling anak sehingga akhirnya mampu terlibat kerjasama
dalam bermain.
e. Dramatic Play.
Tampak sejalan dengan mulai muncul nya kemampuan anak untuk berpikir simbolik.
Contohnya bermain dengan boneka yang dianggap hidup.
f.
Dukungan
orangtua dalam kegiatan bermain anak
Menurut brotherson 2009, dukungan orang
tua terhadap kegiatan bermain anak dapat berupa sebagai berikut:
1) Menyediakan
waktu yang cukup untuk bermain.
2) Membuat
kegiatan bermain variasi.
3) Merespon
ajakan anak untuk bermain
4) Meyakinkan
bahwa alat-alat bermain kondisinya aman.
5) Membantu
anak bermain interaksin positif dengan anak-anak lain.
D. PERKEMBANGAN SOSIAL-EMOSIONAL
ANAK-ANAK AKHIR (6-12 TAHUN)
Pada
masa ini, anak menjadi lebih peka terhadap perasaannya sendiri dan perasaan
orang lai. Mereka dapat lebih baik mengatur ekspresi emosionalnya dalam situai
sosial dan mereka dapat merespon tekanan
emosional orang lain. Anak-anak juga semakin menyadari untuk menyesuaikan emosi
dengan kultur mereka. Umumnya ungkapan emosional pada masa ini merupakan
ungkapan yang menyenangkan.
Hurlock
1980, mengemukakan bahwa masa ini sering disebut sebagai usia berkelompok
karena ditandai dengan adanya minat terhadap aktivitas teman-teman,
emningkatnya keinginan yang kuat untuk diterima sebagai suatu anggota kelompok
dan akan merasa kesepian dan tidak puas bila tidak bersama dengan
teman-temanya.
1.
Fungsi
Kelompok
Walaupun dapat menimbulkan akibat yang
tidak baik namun kenaggotan kelompok merupakan hal yang penting dalam rangka
membantu prosess sosialisasi antara lain:
a. Belajar
berkerjasama
b. Belajar
perilaku sosial yang baik
c. Delajar
bersaing dengan orang lain
d. Belajar
menerima dan melaksanakan tanggung jawab.
e. Belajar
bersikap sportif
f. Belajar
menyesuaikan diri dengan standar kelompok
g. Belajar bebas/tidak tergantung dari orang
dewasa.
2.
Perkembangan
Emosi dan Sosial Anak-anak
Secara umum
perkembangan emosi dan sosial kanak-kanak dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Dapat
mengadakan ikatan dengan orang dewasa yang lain dan anak sebaya, seta
lingkungan sosialnya semakin meluas.
b. Egosentrisme
sudah agak berkurang, tetapi melihat kenyataan masih berdasarkan informasi yang
terbatas.
c. Mempunyai
keinginan kuat menjadi anggota kelompok, dan mulai sekitar 10 tahun sudah dengan
aturan dan perjanjian.
d. Konfirmisme,
tetapi karena sifat-sifat pribadi dan faktor situasional.
e. Emosi
relatif lebih tenang dan bentuk ungkapannya berbeda dengan masa anak awal.
f. Bermain
masih penting, tetapi waktunya sudah berkurang.
Khusus
berkaitan dengan perkembangan emosi, beberapa peniliti (Santrock, 2007)
menyatakan bahwa ada beberapa perubahan/peningkatan penting yaitu:
a. Peningktan
kemampuan untuk memahami emosi kompleks, misalnya kebanggan dan rasa malu.
b. Peningkatan
pemahaman bahwa mungkin saja seseorang mengalami lebih dari satu emosi dalam
suatu tertentu.
c. Peningkatan
kecenderungan untuk lebih mempertimbangkan kejadian-kejadian yang menyebabkan
reaksi tertentu.
d. Peningkatan
kemampuan untuk menekan atau menutupi reaksi emosional yang negatif.
e. Penggunaan
strategi personal untuk mengalihkan atensi atau pikiran ketika mengalami emosi
tertentu.
3. Perkembangan sosial dan emosional
anak dalam konteks sekolah.
Berkaitan
dengan perkembangan sosial-emosional pada masa kanak-kanak akhir, selain peran
orangtua, sekolah juga harus terlibat untuk berperan karena anak-anak lebih
banyak menghabiskan waktunya disekolah dibanding pada saat anak anak masa awal.
Pada masa ini merupakan masa memasuki sekolah dasar. Berbagai penelitian telah
menunjukan bahwa hambatan dalam perkembangan seosial-emosional berakibat pada
munculnya masalah-masalah akademis. Oleh karena itu, ahli-ahli yang profesional
seperti psikolog dan konselor sekolah perlu dilibatkan untuk membantu guru
merancang kegiatan-kegiatan yang efektif untuk mengembangkan sosial-emosional
anak.
4. Bermain pada masa anak-anak akhir
Pada
masa ini, waktu bermain sudah lebih sedikit dibanding saat sebelumnya. Tetapi
mengingat pentingnya bermain bagi perkembangan fisik, sosial, dan emosi anak,
maka anak perlu diberi waktu untuk bermain yang sesuai dengan tahap
perkembangannya. Selama masa kanak-kanak akhir, baik anak laki-laki maupun
perempuan sangat sadar akan kesesuain jenis permainan dengan kelompok seksnya.
Bermain juga merupakan salah satu cara bagi anak untuk mengasah kepekaanya
melalui kelompok pergaulannya. Saat bermain dengan temannya, anak mulai
memahami sudut pandang orang lain.
Pada
saat anak duduk di kelas 405 sekolah dasar anak akan memperoleh kepuasan yang
lebih besar jika bermain dengan teman yang seusia, berminat sama, dan dari
jenis kelamin yang sama.
5. Pertemanan
Pada
masa anak-anak akhir, anak-anak makin perluas pergaulannya yang semula anggot
keluarganya sendiri kemudian beralih ke teman-temanya, tetangganya, dan teman
sekolahnya. Melalui interaksi dengan teman, anak-anak akan belajar banyak
keterampilan sosial seperti komunikasi, kerja sama, pemecahan masalah dan
belajar bernegoisasi dalam situasi yang berbeda-beda. Anak-anak juga belajar
mengendalikan emosi dan merespons emosi teman-temanya. Selain itu mereka juga
cenderung memiliki school performance yang baik serta mempunyai sikap positif
terhadap sekolah dan belajar. Namun pertemanan juga memiliki sisi yang buruk
karena dapat memunculkan kondisi contentiounusness, conflict, coercion,
jealously, dan betrayal. Terlebih apabila anak mempunyai tenman dengan
karatertistik antisosial.
6. Fungsi Pertemanan
Menurut
Gottman dan parker (santrock, 2007) pertemanan memiliki enam fungsi ,yaitu:
a. Persahabatan.
Dengan pertemanan, anak-anak akan menemukan mitranya yang farmiliar.
b. Stimulasi.
Anak-anak akan memperoleh informasi yang menarik, kesangan dan hiburan.
c. Dukungan
fisik. Dengan pertemanan akan terdapat sumber daya dan bantuin dari
teman-temanya.
d. Dukunagn
ego. Dalam pertemanan terdapat harapan akan dukungan, semangat dan umpan balik
yang mebantu anak-anak memeilihara kesan sendiri mereka sendiri sebagai
individu yang kompeten, menarik dan pantas ditemani.
e. Perbandingan
sosial. Pertemanan menyediakan informasi tenatang posisi anak-anak dibanding
orang/teman lain dan apakah anak-anak tersebut berprilaku baik.
f. Keintiman.
Dalam pertemanan anak-anak mengalami hubungan yang hangat , dekat, dan saling
percaya dengan individu lain.
7. Kualitas Pertemanan
Kualtias
perteman pada anak-anak tentu saja berbeda-beda. Ada yang berjalan dengan
intim, berlangsung lama, dan baik, namun ada yang berlangsung singkat dan penuh
pertengkaran dan konflik. Fungsi pertemanan yang telah dipaparkan sebelumnya
akan terjadi hanya apabila kualitas pertemannanya baik.
Berlangsungnya
pertemanan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Walaupun karakteristik yang dicari
oleh anak pada teman mereka berubah seiring dengan pertambahan usia anak, namun
pada umumnya karakteristiknya adalah teman yang sama/serupa dalam hal usia ,
jenis kelamis, etnis, sikap mengenai sekolah, tujuan pendidikan, orientasi
prestasi, musik, jenis pakaian, dan aktivitas waktu senggang.
8. Strategi berteman
Anak
mebutuhkan orang tua yang berperan aktif untuk membantunya mempersiapkan diri
berinteraksi dengan ornag lain/teman sebayanya dengan cara membina hubungan
yang baik dengan anak, yaitu hubungan yang didasari dengan kasih sayang,
penerimaan, hangat dan respectfull. Chancy dan Fugate mengemukakan beberapa
cara yang dapat dilakukan oleh orang tua, yaitu:
a. Memberi
kesempatan pada anak untuk mempunyai waktu bertemu dengan anak-anak lain.
b. Mendorong
anak untuk mengikuti permainan dan olahraga tertentu.
c. Menetapkan
aturan yang jelas untuk periaku yang tepat dan baik.
d. Membantu
anak untuk mengatasi semosi negatif dan pemecahan masalah.
Sedangkan
menurut Wentzel dan Santrocl 2007, strategi orang tua untuk melatih anak dalam
berteman dengan cara sebagai berikut:
a. Memulai
interaksi.
b. Bersikap
baik
c. Menunjukan
prilaku prososial
d. Menghormati
diri sendiri dan orang lain
e. Memberikan
dukungan sosial.
Strategi yang harus dihindari karena
memberi efek buruk yaitu:
a. Bersikap
agresif secara psikologis.
b. Penampilan
diri yang negatif.
c. Berprilaku
anti sosial.
9. Pengasuhan Orangtua
a.
Peran
orangtua dalam masa anak-anak akhir
Pada masa ini, orangtua
menghabiskan waktu yang lebih sedikit dengan anak-anaknya. Dari suatu
penelitian dilaporkan bahwa orantua menghabiskan kurang dari setengah waktu
mereka dengan anak berusia 5-12 tahun dalam perawatan, isntruksi, membaca,
berbicara, dan bermain dibanding dengan bayi dan anak-anak awal. Namun orangtua
memiliki peran sebagai agen sosialisasi yang sangat penting dalam kehidupan
anak (santrock 2007). Bagaimana[un jenis pola asuh yang baik untuk diterapkan
kepada anak berdasarkan hasil dari penelitian adalah pola asuh yang otoritatif,
jadi sebaiknya orangtua menekankan jenis pola asuh ini untuk mengaush
anak-anaknya.
b.
Perlakuan
salah pada anak
Perlakuan salah pada
anak adalah segala perlaukan terhadap anak yang akibatnya mengancam kejahteraan
dan tumbuh kembang anak, baik secara fisik, psikis emosional, dan sosial.
Dampak dari perlakuan salah ini dapat berpengaruh bagi anak baik dalam waktu
jangka pendek maupun jangka panjang.
Menurut Robertson dan Bromfield (2009)
perlakuan yang salah dibagi menjadi lima subtipe yang diantaranya:
1) Pshycal
abuse
2) Emotional
maltreatmen
3) Neglect
4) Sexual
abuse
5) The
witnessing of family violence
Jadi
perlakuan salah terhadap anak dapat dikatakan merupakan tindakan kekerasan atau
pengabaian baik fisik seksual, emosional, maupun psikis kepada anak. Pelakunya
biasanya bertindak sebegai caretaker, sehingga mereka pada umumnya adalah orang
terdekat dengan anak. Menurut National Clearinghouse on child abuse and neglect
tahun 2004 (santrock, 2007), bentuk-bentuk perlakuan salah tersebut sebagai
berikut:
1) Kekerasan
fisik. Dicirikan oleh terjadinya cedera fisik atau anak dalam kondisi bahaya
akibat hukuman fisik yang melampaui batas karena penonjokan, pemukulan,
penendangan, penggigitan, pembakaran.
2) Penelantaran
anak. Dicirikan oleh kegagalan dalam memenuhi kebutuhan dasar anak.
3) Kekerasan
seksual. Dicirikan oleh tindakan mempermainkan alat kelamin anak, hubungan
seksual, incest, pemerkosaan, sodomi, eksibionisme dan eksploitasi komersial
melalui pelacuran.
4) Kekerasan
emotional. Dicirikan oleh tindakan pengabaian oleh orangtua atau pengasuh yang
menyebabkan munculnya masalah perilaku kognitif, atau emosional yang serius.
c.
Akibat
perlakuan yang salah pada anak
Hugle (2005) menyatakan
bahwa akibat dari perlakuan salah terhadap anak, yaitu rendahnya kesehatan
fisik, gangguan emosional dan kesehatan mental, kesulitan sosial, disfungsi
kognitif, perilaku beresiko tinggi, problem perilaku seperti agresivitas,
kenaka;an saat remaja, tindakan kriminal saat dewasa, dan tindakan kekerasan.
Demikian pula dari
beberapa penelitian (santrock, 2007) melaporkan bahwa perlakuan salah terhadap
anak dapat mengakibatkan anak mengalami berbagai masalah dan gangguan perilaku
, diantaranya uaitu mempunyai pengendalian emosi yang buruk, maslaah
keterkaitan, masalah dalam hubungan dengan peer-groupnya, kesulitan beradaptasi
disekolah, dan masalah psikologis lainya.
Pada saat dewasa,
anak-anak yang mengalami perlakuan salah ini sering mengalami kesulitan dalam
menjalin dan mempertahankan hubungan intim yang sehat cenderung leakukan
kekerasan terhadap orang dewasa lain. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan
perlakuan salah diantaranya
1) Karakteristik
anak
-
Age of child
-
Pshcycal/mental/ social disability or
developmental delay
-
Behavioral problems
-
Self-protection, ability to resist abuse
-
Fear of caregier or home environment
2) Karakteristik
caregivers
-
Victimization of other children
-
Mental, pshycal or emotional impairment
-
Subtance abuse, past or current
-
History of abuse or neglect as a child
-
Poor parenting skill or knowledge
-
Inability to nurture child
-
Failure to recognize problem or accept
responsibility
-
Inwillingnes or inabilty protect child
-
Uncopertavie with child protective
services agency.
3) Relasi
dengan orang tua
-
Inapporative response ti child behaviour
-
Por attachment and bonding
-
Child has inapporative family role
4) Perpetrator
accsess
-
Has unsupervised access to child
-
Has sole responsibility for care of
child
5) Soscial
and economic factors
-
Stress caregiver
-
Unemployed caregiver
-
Lack of sosial supprot for caregiver
-
Lack of economic resource
10. Perkembangan Kompetensi sosial anak
Agar
berhasil mengahadapi situasi sosial di sekelilingnya. Setiap individu harus
memiliki kompetensi sosial. Demikian pula, dengan dibantu orang tua dan
orang-orang dewasa sekelilingnya, anak-anak harus belajar sejak awal menghadapi
lingkungan dengan baik.
Menurut
Nenide (2008), kompetensi sosial adalah kemampuan untuk mencapai tujuan-tujuan
personal dalam interaksi sosial dengan memilihara hubungan yang positif dengan
orang lain. Makin luasnya dunia sosial anak seitring dengan bertmabhanya usia
dan masa masuk sekolah dasar, maka kegiatan anak juga beragam dan mereka
terlibat dalam kelompok baik dilingkungan rumah maupun sekolah.
Ada
beberapa tahap perkembangan kompetensi pada anak diantaranya :
a. Tahap
impulsive. Pada usia pra sekolah. Pada tahap ini anak belumm mampu mebedakan
antara perasaan dan perilaku dan tidak
memahami bahwa anak lain akan menginterpretasikan perilaku yang sama dengan
cara yang berbeda.
b. Tahap
unilateral. Pada usia 4-9 tahun. Anak mulai memahami bahwa anak lain dapat
mempunyai pandangan yang berbeda tentang
perilaku yang sama namun mereka belum mampu untuk secara simultan
mempertimbangkan perspektivenya sendiri dengan perspective orang lain.
c. Tahap
respirocal. Pada usia 6-12 tahun. Anaksecara mental dapat melepaskan diri dari
perspectivenya sendiri, memahami pandangan dan tindakan orang lain dan dirinya
sendiri, tetapi tidak hubungan antar keduanya.
d. Tahap
collaborative. Tahap terakhir antara usia 9-15 tahun. Anak dapat melihat dirin
ya sendiri dan orang lain sebagai aktor
atau objek dan mereka mampu untuk mengkoordinasi perspektive miliknya dengan
orang lain.
Beberapa
penelitian melaporkan bahwa anak-anak yang memiliki kompetensi sosisal
cenderung lebih diterima dan disukai oleh teman-temanya, penerimaan awal yang
positif dari teman-temannya, lebih populer, memiliki self-efficacy yang tinggi,
dan memiliki kepercayaan diri akan kemampuaanya. Selain itu, juga memiliki prestasi
belajar yang lebih baik di sekolah, merasa bahagia, dan well-being, tidak mudah
mengalami masalahkesehatan mental, dan tidak mudah melakukan tindakan-tindakan
kriminal dan kenalan yang serius. (hastings dkk., 2006)
E. Issue dan solusi terhadap perlakuan
yang salah terhadap anak.
Data
dari komisi nasional perlindungan anak dan data induk lembaga perlindungan anak
yang ada di 30 provinsi di indonesia dan layanan pengaduan lembaga tersebut,
pada tahun 2006 jumlah kasus pelanggaran hak anak yang terpantau sebanyak
13.447.921 kasus pada tahun 2007 jumlahnya meningkat menjadi 40.398.625 kasus.
Di samping itu , komnas anak juga melaporkan bahwa selama periode januari-juni
2008 sebanyak 12.726 anak menjadi korban kekerasan seksual dari orang terdekat
mereka, seperti orang tua kangdung/tiri/angkat, guru, paman, kakek, tetangga.
Data
sttistik tersebut, apabila ditambah dengan data tentang jumlah kasus penculikan
anak, kasus perdagangan anak, anak yang terpapar dengan asap rokok, anak yang
menjadi korban peredaran narkoba, anak yang tidak dapat mengakses sarana
pendidikan, anak yang belum tersentuh layanan kekrasan, memperjelas gambaran
muram tentang pemenuhan hak-hak anak indonesia. Untuk kesluruhan diindonesia,
kekerasan terhadap anak pada tahun 2010 diperkirakan bisa mencapai 21000 kasus.
Itu menunjukan akan terjadi rata-rata perbulan terjadi 3.500 kasus, 598 per
hari serta 24 kasus per jam.jumlah tersebut melibatkan rata-rata anak dibawah
usia 12 tahun dan bisa jadi korbannya adalah bayi.peningkatan kasus yang cukup
tinggi menunjukan kelemahan sistematik secara politik dan budaya pada
perlindungan terhadap anak. Kasus perdagangan anak juga meningkat 38% pada
tahun 2009. Angka yang terpapar menunjukan betapa prihatinya kondisi anak
indonesia. Trihadi Saptoadi, Direktur World Vision Indonesia bahkan menegaskan,
kekerasan atau pelanggaran hak anak layak disebut tragedi kemanusiaan.
Dari
sekian pengaduan kekerasan terhadap anak yang diterima komnas perlindungan
anak, pemicu kekerasan terhadap anak yang terjadi diantaranya adalah munculnya
kekerasan dalam rumah tangga, terjadinya kekerasan yang melibatkan baik pihak
ayah, ibu, dan saudara yang lainya menyebabkan tidak terelakannya kekerasan
juga terjadi pada anak.anak sering kali menjadi sasaran kemarahan orang tua.
Selain itu terjadi juga disfungsi keluarga, yaitu peran orangtua tidak berjalan
bagaimana seharusnya. Terakhir faktor ekonomi, yaitu kekerasan yang timbul
karena tekanan ekonomi. Tertekanya kondisi keluarga yang disebabkan himpitan
ekonomi adalah faktor yang banyak terjadi dan memicu terjadinya kekerasan.
Daftar pustaka
Agustin, Nurihsan. (2011). DINAMIKA PERKEMBANGAN ANAK DAN REMAJA
(Tinjauan Psikologis, Pendidikan, dan bimbingannya). Bandung. PT Reflika
Aditama.
Soetjiningsih. (2012). PERKEMBANGAN ANAK
(Sejak Pembuahan Sampai dengan Kanak-kanak Akhir). Jakarta. PRENADA MEDIA
GROUP.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar