Translate

Rabu, 15 Januari 2014

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL ANAK



PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL ANAK
A.    Pengertian Perkembangan
Menurut Hurlock (1980) mengemukakan bahwa perkembangan berarti buka sekedar penembahan ukuran tinggi dan berat badan seseorang atau kemampuan seseorang, melainkan suatu proses integrasi dari banyak struktur dan fungsi yang kompleks. Sedangkan menurut Baltes (1987) perkembangan meliputi gains (growth) dan losses (decline), jadi sepanjang hidup individu selain ada pertumbuhan juga ada penurunan.
Berdasarkan paparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa perkembangan merupakan pertumbuhan segala sesuatu yang ada didalam diri kita baik afektif, kognitif maupun psikomotorik yang dipengaruhi lingkungan, pengalaman dan kematangan yang juga disertai dengan kemunduran/penuaan. Adapun tahapan perkembangan anak menurut hurlock (1980) yaitu:
f.       Masa bayi baru lahir (dari kelahiran sampai akhir minggu ke dua).
g.      Masa bayi (mulai akhir minggu kedua – 2 tahun).
h.      Awal masa kanak-kanak (usia 2-6 tahun).
i.        Akhir masa anak-anak (6-12 tahun). 
Perkembangan mencangkup proses-proses biologis (biological process), kognitif (cognitive process), dan sosioemosional (sosioemotional process).

B.     Perkembangan Sosio Emosional pada anak (0-2)
Menurut nenide (2008) perkembangan sosio emosional yang sehat menyangkutadanya sense of confidence and compentence, kemampuan membina hubungan baik dengan teman sebaya dan orang-orang dewasa kemampuan untuk tetap pada tugas, memiliki arah/tujuan, kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami dan mengomunikasi perasaan emosinya, kemampuan mengelola emosi yang kuat secarakonstruktif.
Emosi yang kehadirannya jauh lebih awal dari kemampuan berbahasa dan kognitif anak, merupakan alat untuk berkomunikasi pada masa bayi. Menurut bretherton dkk. Tahun 1986 (santrock, 1995), fungsi utama emosi ialah penyesuaian diri dan kelangsungan hidup (adaptasi and survival), pengaturan (regulation), dan komunikasi.

1.      Emosi bayi
Hasil penelitian Izard pada 1982 (santrock,1995) menunjukan hasil bahwa bermacam macam emosi muncul di berbagai kesempatan pada dua tahun pertama kehidupan anak. Seperti, ekspresi marah dan rasa takut yang sudah dapat muncul saat anak berusia 3-4 bulan, rasa takut dan rasa malu yang dapat muncul pada saat 5-7 bulan. Pada akhir kedua emosi yang paling majemuk sifatnya seperti perasaan bersalah dan perasaan jijik baru muncul.
Bayi juga dapat mengekspresikan perasaanya secara vokal seperti, tangisan yang menandakan bahwa ia lapar, sakit, manja dan lain-lain.
2.      Jenis tangisan
Menurut santrcok (2007), menangis adalah mekanisme penting yang dimiliki bayi yang baru lahir untuk berkomunikasi dengan dunia luar. Ada tiga jenis tangisan yaitu:
-          Tangisan biasa, tangisan yang singkat, kondisi yang biasa menyebabkan tangisan ini adalah kondisi pada saat lapar.
-          Tangisan marah, beberapa variasi dengan lebih banyak udara yang dipaksa melalui pita suara.
-          Tangisan kesakitan, tangisan yang tiba-tiba dan keras, tangisan ini biasa disebabkan oleh oleh stimulus dengan intensitas yang tinggi.
Menanggapi tangisan bayi, peran orang tua salam merespon tangisan bayi memang sangat diperlukan. Karena, orang tua yang secara langsung merespon dan menenangkan setiap tangisan bayi, akan membantu bayi mengembangkan rasapercaya dan kelekatan yang aman.

3.      Senyuman bayi
              Selain tangisan, senyuman merupakan perilaku afektif komunikatif nayi yang juga penting. Ada dua tipe senyuman bayi, yaitu:
-          Senyuman reflektif, merupakan senyuman yang terjadi bukan karena respon terhadap stimulus eksternal atau rangsangan dari luar. Senyuan ini biasa disebut senyuman melihat malaikat.
-          Senyuman sosial, terjadi sebagai respons terhadap stimulus eksternal atau rangsangan dari luar, khsusnya sebagai respons terhadap suatu wajah yang ia lihat.

Pola ekspresi perasaan bayi yang terkait dengan suatu kejadian tertentu relatif stabil dari waktu ke waktu. Karena reaksi bayi terhadap suatu kejadian yang dia alami pada saat berumur 2 bulan akan cenderung sama reaksinya padaa saat ia berusia 13-19 bulan. Sedangka pada usia 18-24 bulan, anak sudah menjadi makhluk yang beremosi. Anak sudah dapat menyampaikan (dengan kata-kata dan ekspresi wajah) tentang berbagai perasaan yang pernah dialaminya atau pernah dialami oleh temannya yang terungkap saat permainan bersama.

4.      Temprament
Tempranment merupakan suatu gaya prilaku individual dan cara merespons yang khas. Jika dilihat pada bayi perangai tempramen nya dapat dicirikan seperti tampak ada bayi yang sangat aktif, tenang, mudah menangis, atau merespons dengan hangat pada orang lain. Kebanyakan bayi sudah menampakan karakteristik prilaku tertentu sejak dini, yang menunjukan bahwa ada suatu komponen bilogis dalam kepribadian anak. Temprament bayi dapat dibedakan dalam tiga tipe pola temprament, yaitu:
-          Anak yang bertemprament mudah. Anak bertemprament seperti ini biasanya neniliki suasana hati yang positif, cepat membangun rutinitasnya yang teratur, mudah menyesuaikan diri dengan pengalaman-pengalaman baru, dan mudah tersenyum pada orang asing.
-          Anak yang bertemprament sulit. Tipe ini umumnya cenderung bereaksi secara negatif/marah-marah.
-          Anak yang bertemrament lambat. Anak-anak tipe ini umumnya memiliki tingkat aktivitas yang rendah, daya adaptasi rendah, tanggapanya lambat terhadap pengalaman baru, dan perubahan reaksinya tidak terlalu kuat baik untuk suasana hati yang positif maupun negatif.

5.      Arah sosial pada bulan-bulan pertama
Menurut schaffer (monks dkk.,2001), pada tiga bulan pertama bayi mulai memiliki daya tarik pada orang/manusia pada umumnya (disebabkan oleh ciri-ciri yang khusus pada manusia), kemudian karena ada perubahan struktur kognitif anak (akibat pengalaman) maka anak tertarik pada orang-orag tertentu saja. Disamping sifat tertarik pada manusia anak juga sudah dapat membuat berbagai tanda untuk memenuhi kebutuhannya.

6.      Attachment (kelekatan atau tingkah laku lekat)
Timgkah laku lekat yaitu ikatan emosional yang kuat dan repirokal antara anak dan pengasuhnya, yang sama-sama memberikan konstribusi terhadap kualitas hubungan tersebut. Kemampuan dalam tingkahlaku ini terjadi pada saat bayi berumur 5-15 bulan.  Namun, munculnya tingkah laku lekat ini juga dapat terhambat atau lebih lambat apabila terjadi depresi sosial yang ekstreem. Menurut ainsworth, tingkahlaku lekat biasanya ditujukan kepada figur-figur tertentu dan tidak pada setiap orang.
a.       Perbedaan kelekatan dan ketergantungan, pada ketergantungan pemenuhan keinginan merupakan hal pokok dan ketergantungan ditunjukan pada sembarang orang. Pada kelekatan, pemenuhan keinginan hal yang pokok dan kelekatan selalu tertuju pada figur atau orang tertentu saja.
b.      Tingkah laku lekat dan lingkunganya,  menurut schaffer 1971 mengatakan lingkungan lumah yang penuh perhatian mempercepat timbulnya tingkah laku lekat, sedangkan deprivasi sosial yang ekstreem dapat memperlambat terbentuknya tingkah laku lekat.
c.       Siapa yang akan menjadi figur lekat?.,   orang yang sering dijadikan figur lekat ialah orang yang sering mengadakan reaksi terhadap tingkah laku anak, untuk menarik perhatian dan sering membuat interaksi secara spontan dengan anak. Untuk penjadi figur lekat tidak cukup jika hanya mengasuh anak saja tetapi bagaimana kita mampu memberi perhatian penuh dan dapat memenuhi persyaratan yang dibutuhkan bagi perkembangan kognisi dan emosional anak.
d.      Jumlah figur lekat, menurut monks dkk 2001, ada dua teori yang berkaitan tentang hal ini yaitu teori differensial (1-6 tahun figur lekat pada ibu) dan teori paralel (0-1 tahun figurl lekat pada ibu).
e.       Hubungan anak dengan figur lekat, pada umumnya pada tahun-tahun awal ini apabila anak dekat dengan figur, timbul keberanian untuk bereksplorasi dan anak mengalami ketakutan bila berpisah dengan figur lekat. Ada dua macam ketakutan menjelang akhir tahun pertama yaitu:
-          Takut terhadap orang asing, perilaku ini muncul pada usia sekitar 6-8 bulan. Namun, satu penelitian menyabutkan bahwa anak yang mempunyai banyak interaksi dengan ayah cenderung kurang takut terhadap orang asing dari pada anak yang hanya mempunyai interaksi dengan ibu saja.
-          Takut untuk berpisah, prilaku ini terjadi pada usia 9-12 bulan. Ketakutan ini muncul saat ditinggal figur lekatnya/pengasuhnya dan juga muncul hambatan tingkah laku eksplorasi.
f.       Efek berpisah dengan figur lekat, tingkah laku yang muncul pada waktu ini adalah fase protes (menangis, agresi, mogok makan), fase putus asa (acuh tak acuh), tingkah laku tak peduli terhadap kontak dengan orang lain.
g.      Dua tipe attachment, tipe attachment yang tampak pada anak berusia 7-12 bulan, yaitu:
-          Anxious attachment anak ingin selalu dekat dengan ibunya, rewel, dan rasa ingin tahunya lebih rendah.
-          Secure attachment anak cenderung berani/ tidak takut dan senang melakukan eksplorasi.
h.      Lack of emotional interchange with a love object,  merupakan kkekurangan kasih sayang yang sangat dibutuhkan untuk berkembang dengan sehat dan normal misalnya karena institusionalisasi (memasukan anak dalam suatu yayasan penitipan) yang mengakibatkan tingkah laku menyimpang seperti :
-          Tingkah laku stereotip,
-          Sering menunjukan sikap apatis
-          Tingkah laku sosial yang abnormal
-          Kemunduran bidang motorik, kognisi, dan bahasa.

7.      Empat Tahap Perkembangan Tingkah Laku Lekat
-          Tahap 1: orientasi dan tanda-tanda diberikan oleh bayi tanpa diskriminasi (0-3 bulan)
Pada tahap ini anak telah memiliki kemampuan untuk mengorientasikan dirinya terhadap gejala-gejala lingkungan yang menonjol terutama terhadap orang/manusia. Bentuk orientasi tingkah laku pada tahap ini, misalnya visual fixation, visual tracking, mendengarkan, rooting, ata penyesuaian letak tubuh pada saat anak digendong.
-          Tahap 2: orientasi dan tanda-tanda ditujukan pada satu orang  atau lebih yang bersifat khusustelah diberikan (3-6 bulan).
Pada tahap ini anak telah mampu untuk berorientasi pada figur-figur yang telah dikenalnya, anak mulai mengenal wajah wajah tertentu yang ditunjukan melalui tingkah laku seperti senyuman dan ocehan.
-          Tahap 3: mempertahankan kedektan terhadap figur lekat tertentu (6 bulan – 3 tahun)
Kelekatan anak terhadap figur khusus yang telah timbul pada tahap-tahap sebelumnya, pada tahap ini tampak lebih kuat. Tingkah laku anak dalam menghadapi ibu sebagai figur lekat mulai terorganisir dan bertujuan. Tujuan tingkah laku adalah untuk mencari dan mempertahankan kedekatan dengan figur lekat.
-          Tahap 4: membentuk goal corrected parnership (3 tahun-akhir masa anak-anak)
Apada tahap ini anak sudah bisa diajak kerjasama. Bila semua tidak mau ditinggalkan figur lekatnya walaupun sebentar, kini ia mengizinkan figurlekatnya pergi karena mengetahui kepergiannya itu hanya sementara.

8.      Hal-hal yang mempengaruhi Perkembangan Kelekatan.
Menurut Bowlby (1981), ada beberapa hal yang mempengaruhi kelekatan pada anak yaitu:
a.      Kondisi anak, kondisi penglihatan dan pendengaran anak mempunyai peranan yang cukup penting dalam perkembangan kelekatan dimana kemamouan yang mendukung yaitu kemampuan persepsi.
b.      Kondisi lingkungan, bayi harus dapat kesempatan untuk berinteraksi dengan figur yang psesific dan berkesinambungan secara tetap, serta mampu memenuhi jebutuhan anak dengan cepat dan tepat.

C.    Perkembangan Sosial-Emosionak Kanak-Kanak Awal (2-6 tahun)
Perkembangan sosial dan emosional anak berkaitan dengan kapasitas anak untuk mengembangkan self confidence, trsut  dan emphaty. Perkembangan sosial-emosiaonal yang positif atau baik merupakan prediktor untuk kesuksesan dalam bidang akademik, kognitif, sosial, dan emosional dalam kehidupan anaknya.
Menurut Santrock 2007, perkembangan emosi dan sosial tidak terlepas peran dari faktor-faktor keluarga, relasi anak dengan teman sebayanya, dan kualitas bermain yang dilkukan bersama teman sebayanya. Menururt Boyd dkk 2005, perkembangan emosi dan sosial anak mencangkup pencapaian serangkaian keterampilan dalam:
1.      Mengidentifikasi dan memahami perasaanya sendiri.
2.      Membaca dengan tepat dan memahami kondisi emosi orang/teman lain.
3.      Mengelola emosi dan mengekspresikan dalam bentuk yang kontstruktif.
4.      Mengatur prilakunya sendiri.
5.      Mengmbangkan empati pada orang/teman lain.
6.      Menjalin dan memelihara hubungan.
Peran Orangtua, Guru, dan teman sebayanya.
            Menurut Boyd dkk. 2005, orangtua dan keluarga, guru, dan teman sebaya sangat berperan dalam pencapaian perkembangan sosio-emosional yang baik pada masa kanak-kanak. Relasi awal orangtua merupakan pondasi dicapainya kompetensi sosial dan hubungan dengan teman sebayanya. Guru, sama halnya dengan orangtua, harus menunjukan relasi yang hangat dan responsif, keterikatan yang konsisiten, terlebih anak mulai menghabiskan banyak waktunya dengan guru pada saat sekolah PAUD. Teman sebaya juga sangat berperan penting melalui hubungan pertemanan yang baik dan bermain bersama, dan penerimaan sebagai teman karena anak akan belajar bagaimana berkerja dalam kelompok dan berkerja sama dengan teman lain.
1.      Peran Keluarga
a.      Pola asuh Orangtua
Dari penelitian Diana Baumrind 1971, ada beberapa pola asuh yang ditunjukan oleh para orangtua yang dapat mempengaruhi perkembangan anak-anaknya, yaitu:
1) Pola Asuh Otoriter
            Merupakan gaya pengasuhan yang ditandai oleh pembatasan, menghukum, memaksa anak mengikuti aturan, dan kontrol yang ketat. Efek pengasuhan ini antara lain anak mengalami inkompetensi sosial, sering merasa tidak bahagia, kemampuan komunikasi lemah, tidak memiliki inisiatif melakukan sesuatu, dan kemungkinan berprilaku agresuf.
2) Pola Asuh Otoritatif atau demokrsatis
            Gaya pengasuhan ini mendorong anak untuk mandiri tetapi masih menetapkan batas-batas dan pengendalian atas tindakan anak. Efek dari pengasuhan ini  anak mempunyai kompetensi sosial, percaya diri dan bertanggung jawab secara sosial. Juga tampak ceria, bisa mengendalikan diri dan mandiri, berorientasi pada prestasi, mempertahankan hubungan ramah dengan teman sebaya, mampu berkerja sama dengan orang dewasa, dan mampu mengatasi stres dengan baik.
3) Pola Asuh yang Membiarkan
            Merupakan gaya pengasuhan yang mana orangtua sangat terlibat dalam kehidupan anak tetapi menetapkan sedikit batas, tidak terlalu menuntut, dan tidak mengontrol mereka. Efek dari pengasuhan ini adalah anak kurang memiliki rasa hormat kepada orang lain dan mengalami kesulitan mengendalikan prilakunya. Kemungkinan mereka juga mendominasi, egosentris, tidak menuruti aturan, dan mengalami kesulitan dalam hubungan teman sebaya.
4) Pola Asuh yang Mengabaikan
            Merupakan gaya pengasuhan yang mana orangtua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak.efek pengasuhan ini antaralain inkompetensi sosial, kendali diri yang buruk, tidak mandiri, harga diri rendah, tidak dewasa, rasa terasing dari keluarga, serta saat remaja suka membolos dan nakal.
b.      Perlakukan Orangtua Kepada Anak.
Cara orangtua memperlakukan anak sebaiknya menyesuaikan dengan usia dan taraf perkembangan anak. Misalnya, perlakuan terhadap anak usia dua tahun seharusnya tidak sama dengan anak berusia 5 tahun. Secara umum perlakuan orangtua pada masa anak-anak awal sebagai berikut:
1.      Tahun pertama, interaksi orangtua-anak difokuskan mulai dari pengasuhan rutin, seperti memberi makan, mengganti popok, memandikan dan menidurkan, serta kegiatan yang berfsifat bukan pengasuhan seperti bermain, serta penukaran tatapan dan suara.
2.      Tahun kedua dan ketiga, persoalan disiplin, menjauhkan anak dari kegiatan-kegiatan yang membahayakan dan kadang-kadang hukuman fisik, seperti memukul bagian pantat.
3.      Sesudah ini orangtua memberi penalaran, nasihat-nasihat moral dan memberi atau tidak memberi hak-hak khusus. Masa anak masuk sekolah dasar, ornagtua biasanya memberi sedikit sentuhan fisik.
c.       Ibu Berkerja
Beberapa penelitian menunjukan bahwa bagi anak bayi sampai usia dua tahun, efeknya kurang baik bila bayi ditinggal berkerja, karena kelekatan dengan ibu menjadi berkurang atau hilang. Namun jika anak sudah memasuki masa SD atau remaja hal seperti ini bisa menjadi anak menjadi  mandiri dan bertanggung jawab.
d.      Keluarga yang Bercerai
Perpisahan orang tua dapat membawa dampak pada kondisi anak. Pada umumnya anak-anak mengalami konflik, dan pada anak perempuan nilai-nilai disekolah lebih menurun dibanding pada anak laki-laki dan anak laki-laki lebih mengalami masalah dalam penyesuaian diri.
2.      Relasi dengan Teman Sebaya
Salah satu fungsi teman sebaya adalah sebagai sumber informasi dan bahan pembanding diluar lingkungan keluarga. Hubungan yang baik baik dengan teman sebaya sangat penting bagi perkembangan sosial yang baik. Isolasi sosial atau ketidak mampuan anak melibatkan diri kedalam suatu jaringan sosial, dapat mengakibatkan munculnya masalah kelainan yang beragam mulain dari kenakalan dan masalah minum-minuman keras dan depresi.

3.      Kualitas Bermain Teman Sebaya
Bermain ialah suatu kegiatan yang menyenangkan yang dilaksanakan untuk kepentingan kegiatan itu sendiri. Sebagian besar interaksi teman sebaya melibatkan permainan.
a.       Karakteristik bermain
Dari berbagai pendapat tentang pengertian bermain dapat disimpulkan bahwa karakteristik kegiatan bermain, yaitu:
1)      Bermain dilakukan sukarela tanpa paksaan
2)      Bermain selalu menyenangkan
3)      Bermain dilakukan secara spontan, bebas, tidak harus sesuai kenyataan, bebas membuat aturan sendiri dan bebas berfantasi.
4)      Makna dan kesenangan bermain sepenuhnya ditentukan si pelaku.
b.      Ciri-ciri Permainan
Berdasarkan analisis fenomologis, maka Buytendijk (monks dkk, 2001) menemukan ciri-ciri permainan sebagai berikut:
1)      Permainan adalah selalu bermain dengan sesuatu.
2)      Dalam permainan selalu ada sifat timbal balik atau sifat interaksi.
3)      Permainan berkembang tidak statsis melainkan dinamis.
4)      Permainan juga ditandai oleh pergantian yang tidak dapat diramalkan lebih dahulu
5)      Orang bermain tidak hanya bermain dengan sesuatu atau dengan oranglain, melainkan yang lain tadi juga bermain dengan orang yang bermain itu.
6)      Bermain menuntut ruangan untuk bermain dan menuntut aturan permainan.
7)      Aturan permainan membatasi bidang permainannya.
c.       Fungsi Bermain
Menurut Ginzburg (2007), bermain merupakan kegiatan penting bagi anak karena mendukung perkembangan fisik, kognitif, sosialemotional well being anak, kratifitas, dan perkembangan otak anak. Bermain juga berfungsi meningkatkan keterlibatan orang tua secara penuh pada kegiatan anaknya dan secara tidak langsung melatih anak belajar bagaimana berkerja dalam kelompok, berbagi, bernegoisasi, mengatasi konflik dan dan belajar self-advocacy skill.
Sedangkan menurut piaget bermain berfungsi untuk meningkatkan kemampuan kognitif anak. Piaget juga yakin bahwa struktur kognitif perlu memeroleh latihan, dan bermain adalah lahan yang subur untuk berlatih. Oleh karena itu orangtua dan guru harus menolong anak melakukan permainan dengan berbagai variasi , karena dapat membantu meningkatkan kreativitas anak.
Berikut in beberapa contoh aktivitas bermain pada anak dan efeknya (Brotherson, 2009)
When Children..
They Learn..
Smile and coo at people
How to engage other  in interaction
Shake a rattle
Throw toys on the floor
Their action produce result to distinguish sounds
Look at the picture book

Roll a ball
Principle of gravity vause and effect
Cuddke a stuffed animal
Pictrue represent real objects, world label objects
Build with block
Concepts of size,weight,symmetry, number, and balances, muscle control and coordination.
Dress up and play house
Small muscle, self-help skill, to recreate their own world
Pretend to be firefrighters
Social rules, to work with others, share materials, and communicate with other children

d.      Kategori Bermain
Menurut Hurlock (1980), bermain secara garis besar dapat dibagi kedalam dua kategorui yaitu;
1)      Bermain aktif,  dalam bermain aktif kesenangan timbul dari apa yang dilakukan individual misalnya bermain boneka, bermain mobil-mobilan, dan main masak-masakan. Bermain aktif lebih banyak dilakukan oleh individu pada masa anak-anak awal dan tengah.
2)      Bermain pasif (hiburan), dalam bermain pasif  atau hiburan, kesenangan diperoleh dari kegiatan yang dilakukan oleh orang lain dan tenaga yang dikeluarkan lebih sedikit. Misalnya menonton film dan mebaca buku.jenis permainan pasif biasanya digemari oleh anak-anak yang lebih besar.
e.       Bentuk-bentuk Permainan
Ada enam interaksi antar anak yang terjadi saat mereka bermain serta terlihat adanya peningkatan kadar interaksi sosial mulai dari kegiatan bermain sendiri samapai bermain bersama.
1)      Unoccupied play. Anak tidak benar-benar terlibat dalam kegiatan bermain, tetapi hanya mengamati kejaian disektitarnya yang menarik perhatiannya.
2)      Solitary play. Anak sibut bermain sendiri dan tampaknya tidak memerhatikan kehadiran anak-anak lain disekitarnya. Prilakunya bersifat egosentris yang ditunjukan anatara lain, emncerminkan pusat kegiatan dan perhatiannya  pada dirisendiri.
3)      Onlooker play. Pada umumnya tampak pada anak berusia 2 tahun. Yaitu kegiatan bermain dengan mengamati anak-anak lainmelakukan kegiatan bermain dengan mengamati anak-anak lain melakukan kegiatan bermain dan tampak ada minat yang semakin besar terhadap kegiatan anak lain yang diamatinya.
4)      Paralel play. Tampak saat dua anak atau lebih bermain dengan jenis alat permainan yang sama dan melakukan gerakan-gerakan  atau kegiatan yang sama, tetapi bila diperhatikan tampak bahwa sebenarnya tidak ada interaksi diantara mereka.
5)      Assosiatif play. kegiatan bermain ini ditandai dengan adanya interaksi antar anak yang bermain,saling tukar alat permainan. Akan tetapi bila diamati masing-masing anak tidak terlibat dalam kerjasama. Kegiatan bermain asosiatif ini biasa terlihat pada anak usia prasekolah, anak-anak di TK.
6)      Cooperative Play. Ditandai dengan adanya kerja sama atau pembagian tugas dan pembagian peran antara anak-anak  yang terlibat dalam permainan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Kegiatan ini sudah tampak pada anak usia sekitar lima tahun.
Menurut Berger pada tahun 1983, kegiatan bermain dapat dibedakan atas:
a.       Sensory Motor play. Merupakan kegiatan bermain yang mengandalkan indra dan gerakan tubuh dan sudah tampak pada sejak anak berusia 3 bulan.
b.      Mastery Play. Merupakan kegiatan bermain untuk menguasai keterampilan tertentu dan merupakan latihan bagi anak untuk menguasai keterampilan-keterampilan yang baru baginya melalui pengulangan-pengulangan yang dilakukan anak misalnya berguling-guling melompat.
c.       Rough and Rumble play. Merupakan kegiatan bermain kasar seperti bergelut, bergulingan serta saling dorong , pura-pura menjegal, atau saling pukul , namun dilakukan antara teman-teman yang sudah cukup dikenal dengan baik sehingga juga menunjang perkembangan sosial anak.
d.      Sosial Play. Merupakan tonggak penting dalam tahapan perkembangan sosial anak, mulai tampak pada usia pra sekolah. Kegiatan bermain ini ditandai dengan adanya interaksi dengan orang lain di sekeliling anak sehingga akhirnya mampu terlibat kerjasama dalam bermain.
e.       Dramatic Play. Tampak sejalan dengan mulai muncul nya kemampuan anak untuk berpikir simbolik. Contohnya bermain dengan boneka yang dianggap hidup.
f.       Dukungan orangtua dalam kegiatan bermain anak
Menurut brotherson 2009, dukungan orang tua terhadap kegiatan bermain anak dapat berupa sebagai berikut:
1)      Menyediakan waktu yang cukup untuk bermain.
2)      Membuat kegiatan bermain variasi.
3)      Merespon ajakan anak untuk bermain
4)      Meyakinkan bahwa alat-alat bermain kondisinya aman.
5)      Membantu anak bermain interaksin positif dengan anak-anak lain.

D.    PERKEMBANGAN SOSIAL-EMOSIONAL ANAK-ANAK AKHIR (6-12 TAHUN)
Pada masa ini, anak menjadi lebih peka terhadap perasaannya sendiri dan perasaan orang lai. Mereka dapat lebih baik mengatur ekspresi emosionalnya dalam situai sosial dan  mereka dapat merespon tekanan emosional orang lain. Anak-anak juga semakin menyadari untuk menyesuaikan emosi dengan kultur mereka. Umumnya ungkapan emosional pada masa ini merupakan ungkapan yang menyenangkan.
Hurlock 1980, mengemukakan bahwa masa ini sering disebut sebagai usia berkelompok karena ditandai dengan adanya minat terhadap aktivitas teman-teman, emningkatnya keinginan yang kuat untuk diterima sebagai suatu anggota kelompok dan akan merasa kesepian dan tidak puas bila tidak bersama dengan teman-temanya.


1.      Fungsi Kelompok
Walaupun dapat menimbulkan akibat yang tidak baik namun kenaggotan kelompok merupakan hal yang penting dalam rangka membantu prosess sosialisasi antara lain:
a.       Belajar berkerjasama
b.      Belajar perilaku sosial yang baik
c.       Delajar bersaing dengan orang lain
d.      Belajar menerima dan melaksanakan tanggung jawab.
e.       Belajar bersikap sportif
f.       Belajar menyesuaikan diri dengan standar kelompok
g.       Belajar bebas/tidak tergantung dari orang dewasa.

2.      Perkembangan Emosi dan Sosial Anak-anak
Secara umum perkembangan emosi dan sosial kanak-kanak dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.       Dapat mengadakan ikatan dengan orang dewasa yang lain dan anak sebaya, seta lingkungan sosialnya semakin meluas.
b.      Egosentrisme sudah agak berkurang, tetapi melihat kenyataan masih berdasarkan informasi yang terbatas.
c.       Mempunyai keinginan kuat menjadi anggota kelompok, dan mulai sekitar 10 tahun sudah dengan aturan dan perjanjian.
d.      Konfirmisme, tetapi karena sifat-sifat pribadi dan faktor situasional.
e.       Emosi relatif lebih tenang dan bentuk ungkapannya berbeda dengan masa anak awal.
f.       Bermain masih penting, tetapi waktunya sudah berkurang.
Khusus berkaitan dengan perkembangan emosi, beberapa peniliti (Santrock, 2007) menyatakan bahwa ada beberapa perubahan/peningkatan penting yaitu:
a.       Peningktan kemampuan untuk memahami emosi kompleks, misalnya kebanggan dan rasa malu.
b.      Peningkatan pemahaman bahwa mungkin saja seseorang mengalami lebih dari satu emosi dalam suatu tertentu.
c.       Peningkatan kecenderungan untuk lebih mempertimbangkan kejadian-kejadian yang menyebabkan reaksi tertentu.
d.      Peningkatan kemampuan untuk menekan atau menutupi reaksi emosional yang negatif.
e.       Penggunaan strategi personal untuk mengalihkan atensi atau pikiran ketika mengalami emosi tertentu.

3.      Perkembangan sosial dan emosional anak dalam konteks sekolah.
Berkaitan dengan perkembangan sosial-emosional pada masa kanak-kanak akhir, selain peran orangtua, sekolah juga harus terlibat untuk berperan karena anak-anak lebih banyak menghabiskan waktunya disekolah dibanding pada saat anak anak masa awal. Pada masa ini merupakan masa memasuki sekolah dasar. Berbagai penelitian telah menunjukan bahwa hambatan dalam perkembangan seosial-emosional berakibat pada munculnya masalah-masalah akademis. Oleh karena itu, ahli-ahli yang profesional seperti psikolog dan konselor sekolah perlu dilibatkan untuk membantu guru merancang kegiatan-kegiatan yang efektif untuk mengembangkan sosial-emosional anak.

4.      Bermain pada masa anak-anak akhir
Pada masa ini, waktu bermain sudah lebih sedikit dibanding saat sebelumnya. Tetapi mengingat pentingnya bermain bagi perkembangan fisik, sosial, dan emosi anak, maka anak perlu diberi waktu untuk bermain yang sesuai dengan tahap perkembangannya. Selama masa kanak-kanak akhir, baik anak laki-laki maupun perempuan sangat sadar akan kesesuain jenis permainan dengan kelompok seksnya. Bermain juga merupakan salah satu cara bagi anak untuk mengasah kepekaanya melalui kelompok pergaulannya. Saat bermain dengan temannya, anak mulai memahami sudut pandang orang lain.
Pada saat anak duduk di kelas 405 sekolah dasar anak akan memperoleh kepuasan yang lebih besar jika bermain dengan teman yang seusia, berminat sama, dan dari jenis kelamin yang sama.

5.      Pertemanan
Pada masa anak-anak akhir, anak-anak makin perluas pergaulannya yang semula anggot keluarganya sendiri kemudian beralih ke teman-temanya, tetangganya, dan teman sekolahnya. Melalui interaksi dengan teman, anak-anak akan belajar banyak keterampilan sosial seperti komunikasi, kerja sama, pemecahan masalah dan belajar bernegoisasi dalam situasi yang berbeda-beda. Anak-anak juga belajar mengendalikan emosi dan merespons emosi teman-temanya. Selain itu mereka juga cenderung memiliki school performance yang baik serta mempunyai sikap positif terhadap sekolah dan belajar. Namun pertemanan juga memiliki sisi yang buruk karena dapat memunculkan kondisi contentiounusness, conflict, coercion, jealously, dan betrayal. Terlebih apabila anak mempunyai tenman dengan karatertistik antisosial.

6.      Fungsi Pertemanan
Menurut Gottman dan parker (santrock, 2007) pertemanan memiliki enam fungsi ,yaitu:
a.       Persahabatan. Dengan pertemanan, anak-anak akan menemukan mitranya yang farmiliar.
b.      Stimulasi. Anak-anak akan memperoleh informasi yang menarik, kesangan dan hiburan.
c.       Dukungan fisik. Dengan pertemanan akan terdapat sumber daya dan bantuin dari teman-temanya.
d.      Dukunagn ego. Dalam pertemanan terdapat harapan akan dukungan, semangat dan umpan balik yang mebantu anak-anak memeilihara kesan sendiri mereka sendiri sebagai individu yang kompeten, menarik dan pantas ditemani.
e.       Perbandingan sosial. Pertemanan menyediakan informasi tenatang posisi anak-anak dibanding orang/teman lain dan apakah anak-anak tersebut berprilaku baik.
f.       Keintiman. Dalam pertemanan anak-anak mengalami hubungan yang hangat , dekat, dan saling percaya dengan individu lain.


7.      Kualitas Pertemanan
Kualtias perteman pada anak-anak tentu saja berbeda-beda. Ada yang berjalan dengan intim, berlangsung lama, dan baik, namun ada yang berlangsung singkat dan penuh pertengkaran dan konflik. Fungsi pertemanan yang telah dipaparkan sebelumnya akan terjadi hanya apabila kualitas pertemannanya baik.
Berlangsungnya pertemanan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Walaupun karakteristik yang dicari oleh anak pada teman mereka berubah seiring dengan pertambahan usia anak, namun pada umumnya karakteristiknya adalah teman yang sama/serupa dalam hal usia , jenis kelamis, etnis, sikap mengenai sekolah, tujuan pendidikan, orientasi prestasi, musik, jenis pakaian, dan aktivitas waktu senggang.

8.      Strategi berteman
Anak mebutuhkan orang tua yang berperan aktif untuk membantunya mempersiapkan diri berinteraksi dengan ornag lain/teman sebayanya dengan cara membina hubungan yang baik dengan anak, yaitu hubungan yang didasari dengan kasih sayang, penerimaan, hangat dan respectfull. Chancy dan Fugate mengemukakan beberapa cara yang dapat dilakukan oleh orang tua, yaitu:
a.       Memberi kesempatan pada anak untuk mempunyai waktu bertemu dengan anak-anak lain.
b.      Mendorong anak untuk mengikuti permainan dan olahraga tertentu.
c.       Menetapkan aturan yang jelas untuk periaku yang tepat dan baik.
d.      Membantu anak untuk mengatasi semosi negatif dan pemecahan masalah.
Sedangkan menurut Wentzel dan Santrocl 2007, strategi orang tua untuk melatih anak dalam berteman dengan cara sebagai berikut:
a.       Memulai interaksi.
b.      Bersikap baik
c.       Menunjukan prilaku prososial
d.      Menghormati diri sendiri dan orang lain
e.       Memberikan dukungan sosial.
Strategi yang harus dihindari karena memberi efek buruk yaitu:
a.       Bersikap agresif secara psikologis.
b.      Penampilan diri yang negatif.
c.       Berprilaku anti sosial.



9.      Pengasuhan Orangtua
a.      Peran orangtua dalam masa anak-anak akhir
Pada masa ini, orangtua menghabiskan waktu yang lebih sedikit dengan anak-anaknya. Dari suatu penelitian dilaporkan bahwa orantua menghabiskan kurang dari setengah waktu mereka dengan anak berusia 5-12 tahun dalam perawatan, isntruksi, membaca, berbicara, dan bermain dibanding dengan bayi dan anak-anak awal. Namun orangtua memiliki peran sebagai agen sosialisasi yang sangat penting dalam kehidupan anak (santrock 2007). Bagaimana[un jenis pola asuh yang baik untuk diterapkan kepada anak berdasarkan hasil dari penelitian adalah pola asuh yang otoritatif, jadi sebaiknya orangtua menekankan jenis pola asuh ini untuk mengaush anak-anaknya.

b.      Perlakuan salah pada anak
Perlakuan salah pada anak adalah segala perlaukan terhadap anak yang akibatnya mengancam kejahteraan dan tumbuh kembang anak, baik secara fisik, psikis emosional, dan sosial. Dampak dari perlakuan salah ini dapat berpengaruh bagi anak baik dalam waktu jangka pendek maupun jangka panjang.
Menurut Robertson dan Bromfield (2009) perlakuan yang salah dibagi menjadi lima subtipe yang diantaranya:
1)      Pshycal abuse
2)      Emotional maltreatmen
3)      Neglect
4)      Sexual abuse
5)      The witnessing of family violence
Jadi perlakuan salah terhadap anak dapat dikatakan merupakan tindakan kekerasan atau pengabaian baik fisik seksual, emosional, maupun psikis kepada anak. Pelakunya biasanya bertindak sebegai caretaker, sehingga mereka pada umumnya adalah orang terdekat dengan anak. Menurut National Clearinghouse on child abuse and neglect tahun 2004 (santrock, 2007), bentuk-bentuk perlakuan salah tersebut sebagai berikut:
1)      Kekerasan fisik. Dicirikan oleh terjadinya cedera fisik atau anak dalam kondisi bahaya akibat hukuman fisik yang melampaui batas karena penonjokan, pemukulan, penendangan, penggigitan, pembakaran.
2)      Penelantaran anak. Dicirikan oleh kegagalan dalam memenuhi kebutuhan dasar anak.
3)      Kekerasan seksual. Dicirikan oleh tindakan mempermainkan alat kelamin anak, hubungan seksual, incest, pemerkosaan, sodomi, eksibionisme dan eksploitasi komersial melalui pelacuran.
4)      Kekerasan emotional. Dicirikan oleh tindakan pengabaian oleh orangtua atau pengasuh yang menyebabkan munculnya masalah perilaku kognitif, atau emosional yang serius.


c.       Akibat perlakuan yang salah pada anak
Hugle (2005) menyatakan bahwa akibat dari perlakuan salah terhadap anak, yaitu rendahnya kesehatan fisik, gangguan emosional dan kesehatan mental, kesulitan sosial, disfungsi kognitif, perilaku beresiko tinggi, problem perilaku seperti agresivitas, kenaka;an saat remaja, tindakan kriminal saat dewasa, dan tindakan kekerasan.
Demikian pula dari beberapa penelitian (santrock, 2007) melaporkan bahwa perlakuan salah terhadap anak dapat mengakibatkan anak mengalami berbagai masalah dan gangguan perilaku , diantaranya uaitu mempunyai pengendalian emosi yang buruk, maslaah keterkaitan, masalah dalam hubungan dengan peer-groupnya, kesulitan beradaptasi disekolah, dan masalah psikologis lainya.
Pada saat dewasa, anak-anak yang mengalami perlakuan salah ini sering mengalami kesulitan dalam menjalin dan mempertahankan hubungan intim yang sehat cenderung leakukan kekerasan terhadap orang dewasa lain. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan perlakuan salah diantaranya
1)      Karakteristik anak
-          Age of child
-          Pshcycal/mental/ social disability or developmental delay
-          Behavioral problems
-          Self-protection, ability to resist abuse
-          Fear of caregier or home environment
2)      Karakteristik caregivers
-          Victimization of other children
-          Mental, pshycal or emotional impairment
-          Subtance abuse,  past or current
-          History of abuse or neglect as a child
-          Poor parenting skill or knowledge
-          Inability to nurture child
-          Failure to recognize problem or accept responsibility
-          Inwillingnes or inabilty protect child
-          Uncopertavie with child protective services agency.
3)      Relasi dengan orang tua
-          Inapporative response ti child behaviour
-          Por attachment and bonding
-          Child has inapporative family role
4)      Perpetrator accsess
-          Has unsupervised access to child
-          Has sole responsibility for care of child
5)      Soscial and economic factors
-          Stress caregiver
-          Unemployed caregiver
-          Lack of sosial supprot for caregiver
-          Lack of economic resource

10.  Perkembangan Kompetensi sosial anak
Agar berhasil mengahadapi situasi sosial di sekelilingnya. Setiap individu harus memiliki kompetensi sosial. Demikian pula, dengan dibantu orang tua dan orang-orang dewasa sekelilingnya, anak-anak harus belajar sejak awal menghadapi lingkungan dengan baik.
Menurut Nenide (2008), kompetensi sosial adalah kemampuan untuk mencapai tujuan-tujuan personal dalam interaksi sosial dengan memilihara hubungan yang positif dengan orang lain. Makin luasnya dunia sosial anak seitring dengan bertmabhanya usia dan masa masuk sekolah dasar, maka kegiatan anak juga beragam dan mereka terlibat dalam kelompok baik dilingkungan rumah maupun sekolah.
Ada beberapa tahap perkembangan kompetensi pada anak diantaranya :
a.       Tahap impulsive. Pada usia pra sekolah. Pada tahap ini anak belumm mampu mebedakan antara perasaan dan perilaku  dan tidak memahami bahwa anak lain akan menginterpretasikan perilaku yang sama dengan cara yang berbeda.
b.      Tahap unilateral. Pada usia 4-9 tahun. Anak mulai memahami bahwa anak lain dapat mempunyai  pandangan yang berbeda tentang perilaku yang sama namun mereka belum mampu untuk secara simultan mempertimbangkan perspektivenya sendiri dengan perspective orang lain.
c.       Tahap respirocal. Pada usia 6-12 tahun. Anaksecara mental dapat melepaskan diri dari perspectivenya sendiri, memahami pandangan dan tindakan orang lain dan dirinya sendiri, tetapi tidak hubungan antar keduanya.
d.      Tahap collaborative. Tahap terakhir antara usia 9-15 tahun. Anak dapat melihat dirin ya sendiri dan  orang lain sebagai aktor atau objek dan mereka mampu untuk mengkoordinasi perspektive miliknya dengan orang lain.

Beberapa penelitian melaporkan bahwa anak-anak yang memiliki kompetensi sosisal cenderung lebih diterima dan disukai oleh teman-temanya, penerimaan awal yang positif dari teman-temannya, lebih populer, memiliki self-efficacy yang tinggi, dan memiliki kepercayaan diri akan kemampuaanya. Selain itu, juga memiliki prestasi belajar yang lebih baik di sekolah, merasa bahagia, dan well-being, tidak mudah mengalami masalahkesehatan mental, dan tidak mudah melakukan tindakan-tindakan kriminal dan kenalan yang serius. (hastings dkk., 2006)

E.     Issue dan solusi terhadap perlakuan yang salah terhadap anak.
Data dari komisi nasional perlindungan anak dan data induk lembaga perlindungan anak yang ada di 30 provinsi di indonesia dan layanan pengaduan lembaga tersebut, pada tahun 2006 jumlah kasus pelanggaran hak anak yang terpantau sebanyak 13.447.921 kasus pada tahun 2007 jumlahnya meningkat menjadi 40.398.625 kasus. Di samping itu , komnas anak juga melaporkan bahwa selama periode januari-juni 2008 sebanyak 12.726 anak menjadi korban kekerasan seksual dari orang terdekat mereka, seperti orang tua kangdung/tiri/angkat, guru, paman, kakek, tetangga.
Data sttistik tersebut, apabila ditambah dengan data tentang jumlah kasus penculikan anak, kasus perdagangan anak, anak yang terpapar dengan asap rokok, anak yang menjadi korban peredaran narkoba, anak yang tidak dapat mengakses sarana pendidikan, anak yang belum tersentuh layanan kekrasan, memperjelas gambaran muram tentang pemenuhan hak-hak anak indonesia. Untuk kesluruhan diindonesia, kekerasan terhadap anak pada tahun 2010 diperkirakan bisa mencapai 21000 kasus. Itu menunjukan akan terjadi rata-rata perbulan terjadi 3.500 kasus, 598 per hari serta 24 kasus per jam.jumlah tersebut melibatkan rata-rata anak dibawah usia 12 tahun dan bisa jadi korbannya adalah bayi.peningkatan kasus yang cukup tinggi menunjukan kelemahan sistematik secara politik dan budaya pada perlindungan terhadap anak. Kasus perdagangan anak juga meningkat 38% pada tahun 2009. Angka yang terpapar menunjukan betapa prihatinya kondisi anak indonesia. Trihadi Saptoadi, Direktur World Vision Indonesia bahkan menegaskan, kekerasan atau pelanggaran hak anak layak disebut tragedi kemanusiaan.
Dari sekian pengaduan kekerasan terhadap anak yang diterima komnas perlindungan anak, pemicu kekerasan terhadap anak yang terjadi diantaranya adalah munculnya kekerasan dalam rumah tangga, terjadinya kekerasan yang melibatkan baik pihak ayah, ibu, dan saudara yang lainya menyebabkan tidak terelakannya kekerasan juga terjadi pada anak.anak sering kali menjadi sasaran kemarahan orang tua. Selain itu terjadi juga disfungsi keluarga, yaitu peran orangtua tidak berjalan bagaimana seharusnya. Terakhir faktor ekonomi, yaitu kekerasan yang timbul karena tekanan ekonomi. Tertekanya kondisi keluarga yang disebabkan himpitan ekonomi adalah faktor yang banyak terjadi dan memicu terjadinya kekerasan.



Daftar pustaka
Agustin, Nurihsan. (2011). DINAMIKA PERKEMBANGAN ANAK DAN REMAJA (Tinjauan Psikologis, Pendidikan, dan bimbingannya). Bandung. PT Reflika Aditama.
Soetjiningsih. (2012). PERKEMBANGAN ANAK (Sejak Pembuahan Sampai dengan Kanak-kanak Akhir). Jakarta. PRENADA MEDIA GROUP.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar